Rabu, 07 April 2010

Keranda Mayat


d

esa kakekku tak pernah aku lewatkan dalam setiap liburanku. Meskipun desa kakekku sekarang terkena wabah demam berdarah, tak menyurutkan keinginanku ke rumah kakek. Desa kakekku sejuk dan indah ditambah aku sudah akrab dengan sobat-sobat desa itu.

Malam ini, sobat-sobat desaku berencana main petak umpet. Aku pun tak mau ketinggalan. Kami bermain di dekat rumah kakek Laksmi karena jalanan itu lapang. Aku bermain dan kakekku ngobrol dengan kakek Laksmi.

Petak umpet dimulai. Aku menemukan tempat persembunyian yang aman, didekat drum yang ada di lokasi tempat penyimpanan peralatan mengurus jenazah. Ada payung, papan, tikar dan keranda mayat.

Aku tidak takut. Beberapa saat kemudian aku melihat ada tiga orang berpakaian hitam, berjalan ke arahku. Ternyata mereka hanya melewatiku dan menuju ke keranda mayat. Wajah mereka sama sekali tidak bisa dilihat.

Di depan keranda mereka berdiri tegak dan menunduk. Seorang dari mereka membuka buku tebal dan menyebut kata Ramono. Kemudian ketiga orang itu meninggalkan keranda dan melewatiku lagi tanpa menoleh. Mereka menghilang di kegelapan.

Aku masih terpaku dan mencoba berpikir apa arti kata Ramono ketika kudengar teriakan kakek menyuruhku pulang. Tiba di rumah datang Pak RT mengajak kakekku untuk melayat Pak Ramono. Kaget aku mendengar kata Ramono. Tapi aku tidak menceritakan hal yang kulihat tadi.

Besoknya kami bermain lagi dan aku tetap memilih tempat persembunyian kemarin. Kejadian kemarin terulang lagi. Tapi kali ini yang disebut adalah Mintarsih. Sampai dirumah Pak RT datang dan mengatakan Mintarsih meninggal.

Aku sudah tidak menahan ingin memberitahu kejadian itu pada kakek. Kuceritakan pada kakek. Kakek segera menyuruh seisi rumah untuk mandi, keramas dan bersuci diri. Setelah itu semua disuruh tidur.

Karena tidak bisa tidur, aku bangun dan melihat kakek dan nenek sedang berada di muka pintu tertutup dengan sapu lidi yang terbalik dan merang yang dibakar ujungnya dan mencoba doa. Tak lama kemudian kudengar suara gaduh “ lewat…lewat…lewat…” terus sampai suara itu menghilang.

Kemudian entah apa yang diucapkan kakekku, aku tak mengerti. Sepertinya mantra itu ditujukan kepada makhluk yang gaduh. Setelah itu wajah kakek terlihat lega.

Sejak saat itu tidak terdengar lagi kabar ada yang meninggal berturut-turut meskipun wabah demam berdarah masih menyerang. Desa kakek terlihat damai dan tenang.

Tibalah saatnya aku pulang meninggalkan desa kakek dan membawa pengalaman yang cukup meyeramkan buatku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar